KABARWAKATOBI.COM, WANGI-WANGI-Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) Haliana meletakkan batu pertama pembangunan Laboratorium unit produksi rumput laut kultur jaringan di Kecamatan Wangiwangi Selatan (Wangsel), Kamis, (22/6/2023).
Lokasi itu merupakan milik Bupati Wakatobi Haliana, yang dihibahkan sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan, agar bisa memberi manfaat secara ekonomi bagi pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Laboratorium itu menjadi satu-satunya di Indonesia laboratorium kultur jaringan yang akan diberikan kepada kelompok/komunitas.
Hadirnya pembangunan unit produksi rumput laut kultur jaringan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI) itu diharapkan dapat meringankan beban masyarakat pembudidaya rumput laut. Supaya petani rumput laut bisa mendapatkan bibit unggul yang berkualitas dengan harga yang relatif murah, sekaligus menjadi pemasok untuk daerah lain.
Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Budidaya Kelautan Perikanan, KKP RI Nono Hartanto mengungkapkan, pada saat pembangunan selesai, peralatan masuk dan running, unit pelaksana teknis (UPT) Kelautan dan Perikanan yang akan mendampingi kelompok sampai berhasil.
“Tinggal dari daerah nanti bagaimana merancang, sehingga bisnisnya bisa berjalan. Supaya bisa jalan, petani nanti membeli bibit yang dihasilkan oleh kelompok ini, dengan harga yang mungkin disepakati bersama. Semua harus saling menghidupi, tidak boleh bibit juga terlalu mahal. Demikian juga tidak boleh terlalu murah, karena kalau terlalu murah akan kesulitan operasional dan pembayaran listriknya,” ungkapnya di Wangsel, Kamis, (22/6/2023).
Kata dia, kalau bibitnya bagus, produksinya meningkat pasti kesejahteraannya akan meningkat. “Untuk sementara yang akan dikembangkan adalah rumput laut jenis Cottonii,” katanya.
Bupati Wakatobi Haliana menyebutkan, dampak ekonomi setelah mereka meninjau di lapangan, ada dua jenis rumput laut yang dikembangkan di Wakatobi, yakni Cottonii dan Spinosum. Dari produksi masyarakat sekitar 3.700 ton, hanya 900 ton yang berjenis Cottonii.
“Cottonii sedikit karena di samping bibitnya yang sulit, juga rentan terhadap penyakit. Setelah kita telusuri lebih jauh ternyata bukan persoalan laut kita yang kurang bagus, tetapi bibit yang tidak lagi maksimal.
Karena sudah keturunan ke sekian dan juga dari laut yang kualitasnya beda. Sehingga ketika tiba di sini harus beradaptasi lebih lama sehingga tidak cepat berhasil,” jelasnya.
Haliana menyampaikan, dari beberapa contoh yang diberikan KKP kepada Wakatobi, yakni bantuan bibit ke Desa di Liya yang sudah dua tahap juga Kaledupa, rupanya menunjukkan kualitas yang bagus. Bahkan di Kaledupa tahun lalu, dari semua areal yang ada di sana, hanya bibit yang dibantu oleh KKP melalui balai Takalar yang bisa tumbuh.
“Sehingga kita yakin dan optimis bahwa kalau bibitnya bagus, maka produksinya bisa meningkat dan bisa saja beralih dari Spinosum ke Cottonii. Karena kita tahu Cottonii harganya tinggi dibanding Spinosum. Spinosum yang lebih banyak dibudidayakan karena itu tahan penyakit,” terangnya.
Bupati berharap kepada masyarakat, kalau itu sudah berjalan masif, tentu akan menjadi peluang lapangan kerja baru. Menurutnya, masyarakat Wakatobi merantau ke Nunukan Tarakan rupanya mereka justru menjadi petani rumput laut.
“Kenapa harus jauh-jauh ke sana, sementara di sini bagus. Yang lalu juga Kadis Perikanan Nunukan malah ke Wakatobi belajar. Karena kita di sini mau menerapkan tentang sistem batok kelapa atau yang ramah lingkungan. Di satu sisi lapangan kerja. Nah inilah yang kemudian kita berdayakan dan kita angkat sedikit-sedikit,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) itu menambahkan, apa yang menjadi mata pencaharian masyarakat dia upayakan untuk ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya supaya produksi mereka bagus.
“Kemudian peningkatan kapasitas agar masyarakat kita bisa mengelola dengan baik sehingga kesejahteraan mereka bisa lebih meningkat,” pungkasnya. (ADM)